Terlanjur cerdas ? Cerdas koq bisa terlanjur ? Bukankah setiap orang mendambakan anaknya cerdas ? Apalagi kata “terlanjur” konotasinya jelek . -suatu yang tidak diharapkan-, seperti; terlanjur basah, terlanjur jatuh, atau terlanjur menjadi bubur,
Anak cerdas, siapa tak mau ? Tetapi itu bukan segala-galanya. Terlebih kalau ia dijadikan dasar bagi segala pertimbangan, mengalahkan bekal-bekal hidup lainnya yang mutlak dimiliki setiap manusia. Apalagi jika yang dimaksud cerdas itu tak lebih dari sebentuk kemampuan menalar, memahami, dan menarik kesimpulan, atau sekedar mampu berpikir logis , menemukan dan memecahkan jawaban-jawaban matematis.
Bahkan sekalipun kecerdasan itu -juga- meliputi kemampuan mengenal dan mengelola perasaan diri, yang dengannya seseorang mampu memahami kemudian merespon orang lain melalui sikap dan tindakan. Sejenis potensi -yang menurut teori Emotional Quotient (EQ)-nya Goleman- berupa kecerdasan emosional, yang berfungsi mengimbangi kecerdasan intelektual !
Bahkan sekalipun kecerdasan itu -juga- berupa kemampuan memahami akan nilai-nilai dan makna kehidupan, menumbuhkan harapan-harapan serta keyakinan. Sejenis potensi -yang menurut teori Spiritual Quotient (SQ)-nya Danah Zohar dan Ian Marshall- berupa kecerdasan spiritual, yang berfungsi mengimbangi bahkan mengendalikan kecerdasan intelektual dan emosional sekaligus !
1. Latih Mereka Menjadi Orang yang Amanah
Sesungguhnya amanah dan sifat-sifat yang menyertainya, seperti jujur, menepati janji, dan tidak khianat merupakan dasar dari segala bentuk tanggung-jawab pada setiap pribadi -sebagai apapun dia-. Karena jujur dan bersifat amanah adalah awal dan modal dasar bagi seseorang di dalam hidup bermasyarakat. Untuk mengemban inilah ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْأِنْسَانُ
إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً (الأحزاب:72)
(Sesungguhnya, telah Kami kemukakan amanat kepada langit, bumi ,dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu, khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh) (Al Ahzab: 72)
Melalui ayat di atas, tampaklah bahwa Amanah -berupa keta’atan dan kejujuran- adalah sesuatu yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa bebankan kepada manusia, namun manusia menganggapnya sebagai suatu perkara yang sepele. Karena itu ALLAH Subhaanahu wa ta’alla mencap manusia sebagai makhluq yang zalim dan bodoh. Artinya, menyepelekan perkara amanah merupakan satu di antara bentuk kezaliman. Dan seorang yang tidak amanah hanya mungkin cerdas dalam pandangan manusia, namun tidak dalam pandangan ALLAH.
Maka apa jadinya kecerdasan itu jika tidak dibarengi dengan kejujuran dan sifat amanah. Bukankah kezaliman yang ditimbulkannya akan menjadi berlipat ganda dibanding apabila tak disertai kecerdasan. Dengan kepandaian berbicara serta mengelola mimik dan tingkah laku secara meyakinkan -sebagaimana pemain sandiwara-, si cerdas tadi mengelabui manusia, menciptakan berjuta alasan untuk mengingkari janji, dan mengkhianati kepercayaan manusia kepadanya. Semua itu dengan modal kecerdasan.
Maka hendaknya sejak dini pendidikan harus mengutamakan perkara ini. Arti jujur dan amanah sudah harus diperkenalkan sejak pertama kali anak bisa diberi sedikit pengertian, Segala upaya dan sarana yang dapat menanamkan kejujuran dan menumbuhkan sifat amanah harus diciptakan. Dan segala suasana dan sarana yang dapat menghantarkan kepada sifat-sifat bohong, mungkir, dan khianat harus dihilangkan dari segala media pendidikan.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:
عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:آية المنافق ثلاث: إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف،
وإذا اؤتمن خان. (البخاري)
Dari Abu Hurairah –radhiallahu anhu– , dari Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabada: “Tanda kemunafiqan itu tiga. Jika bicara, dusta. Jika berjanji, ingkar. Jika diamanahi, khianat.” (HR; Al Bukhari)
Melalui Hadits di atas nampak bahwa dusta, ingkar janji, dan khianat berasal dari akar sifat yang sama, yakni munafiq..Karena itu, jika kita mengajari anak berdusta, mengingkari janji, dan mengkhianati amanah, artinya kita telah menanamkan sifat-sifat munafiq pada anak.
Tentu saja tak ada orangtua yang menginginkan anaknya jadi orang munafiq. Tak ada orangtua -yang sehat- merasa atau mengaku telah mengajari anaknya berdusta, terbiasa mengingkari janji, atau mengkhianati amanah. Tentu saja kita semua tidak merasa telah berbuat seperti itu.
Tetapi kenapa dongeng-dongeng khayali yang kita jejali ke telinga mereka sebagai pengantar tidurnya ? Kenapa kita biarkan mereka membaca cerita-cerita fiktif sejak pertama sekali mereka bisa membaca ? Kenapa sandiwara dan sinetron kita biarkan menjadi konsumsi mereka sehari-hari ? Apalagi kalau disertai harapan dapat mengambil pelajaran atau hikmah darinya -seperti kebanyakan orang yang menganggap film atau sandiwara bisa jadi media da’wah. Bukankah itu semua dusta ? Kalau tidak dusta dari sisi cerita, dusta dari sisi peran. Bagaimana mungkin kita mengajarkan nilai kejujuran lewat cara-cara dusta ?
Selain itu, mungkin kita sering mengingkari apa yang kita janjikan kepada anak kita Beli sepeda baru, berlibur ke rumah nenek, atau tamasya ke pantai, yang berulang kali janji tersebut harus kita perbaharui sambil tak lupa mengumbar macam-macam alasan. Menyuruh anak -berbohong- menjawab telepon atau mengatakan kepada tamu di depan rumah , “Papa tidak ada!“, Atau kita pernah ancam mereka, “Awas, jangan kasih tahu Mama!“
Sungguh ternyata kita sendiri lah yang telah membuat anak-anak terbiasa dengan dusta. Ya, ternyata kita sendiri yang menginginkan -tanpa kita sadari- mereka jadi orang munafiq. Ternyata kita sendiri yang mengajari -tanpa kita sadari- mereka suka mengingkari janji dan mengkhianati amanah.
Maka tindakan yang harus ditempuh untuk mencetak anak-anak yang jujur dan amanah adalah meninggalkan cara-cara atau kebiasaan di atas. Selain itu perlu ditempuh upaya-upaya berupa latihan dan pembiasaan guna menanamkan sifat jujur, menepati janji, dan menjaga amanah. Anak perlu dilatih mengemban amanah-amanah yang mampu ia pertanggungjawabkan. Beri kesempatan mereka berjanji dan ajarkan serta mudahkan agar mereka mampu menunaikannya. Berikan sanksi -walaupun ringan- atas pelanggaran janjinya. Ajarkan mereka bersikap jujur serta ceritakan kepada mereka keutamaan bersikap jujur, tetapi bukan melalui dongeng atau cerita fiktif. Sebab -ingat sekali lagi- mustahil menanamkan kejujuran melalui kedustaan. Sampaikan kepada mereka kisah-kisah orang jujur serta buah dari kejujuran, seperti kisah Ka’ab bin Malik -radhiallahu anhu-.
Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya kita tanamkan pada diri mereka kecenderungan kepada sifat jujur dan menjaga amanah. Sebab, apalah artinya kecerdasan tanpa kejujuran dan sifat amanah. Bukankah kita tidak menghendaki anak kita menjadi orang yang pandai menipu.
Biasakan Mereka Bersikap Santun
Manusia adalah makhluq bermasyarakat yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Sopan-santun merupakan sifat mulia yang dapat menimbulkan rasa tenang dan hangat di dalam pergaulan bermasyarakat. Juga merupakan di antara sifat yang disukai ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah berkata kepada Abdul Qais -radhiallahu anhu- :
إن فيك خصلتين يحبهما الله: الحلم والأناة”.(رواه مسلم)
“Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang dicintai ALLAH. Santun dan berhati-hati.” (HR; Muslim)
Sopan-santun adalah sifat yang membuat pemiliknya disukai oleh orang lain, yang dengannya orang lain merasa aman dari lisan dan perbuatannya, sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- :
عن عامر قال: سمعت عبد الله بن عمرو يقول:
قال النبي صلى الله عليه وسلم: المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده، (ألبخاري)
“Muslim (-yang sempurna-) adalah yang orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR: Al Bukhari)
Betapa tidak, dengannya ia akan menjaga lisan dan perbuatannya agar tidak mengganggu atau menyakiti orang lain. Dengannya pula ia bisa menempatkan diri di tengah lingkungannya. Ia mampu bersikap secara tepat di hadapan orang yang lebih tua, orang yang lebih muda, bahkan di hadapan orang-orang selayaknya dia belajar kepadanya. Dan ini merupakan satu di antara tanda-tanda pengikut Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-, sebagaimana sabdanya:
عن عبادة بن الصامت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
ليس منا من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا
Dari Ubadah ibn Ash-Shaamit, bahwa Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda, “Tidaklah termasuk umatku, mereka yang tidak hormat kepada orang-orang tua kami, tidak sayang kepada orang-orang muda kami, dan tidak mengakui ulama-ulama kami.” (Mustadrak Al Hakim)
Lebih dari itu, santun juga merupakan wujud dari kelembutan hati pemiliknya. Karena mustahil seseorang bersikap santun jika tidak memiliki kelembutan hati. Kelembutan hati lah yang menyebabkan seseorang senantiasa berhati-hati ketika bersikap di hadapan orang lain. Dan ini merupakan sifat yang disukai ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa.
Ya, apalah artinya cerdas tanpa amanah, santun, rajin, dan kuat. Bukankah kita tak menginginkan anak kita menjadi seorang penipu sadis yang licik lagi pengecut.
oleh: rumah belajar ibnu abbas